INDSATU – Fenomena maraknya kembali Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Solok dinilai perlu mendapat perhatian serius, terutama dari aparat penegak hukum.
Hal itu disampaikan praktisi hukum, Mevrizal, yang menyoroti lemahnya pengawasan dan tindakan aparat maupun pemerintah terkait aktivitas PETI.
Menurutnya, keberadaan PETI bukan sekadar persoalan ekonomi atau sosial, melainkan juga problem serius dalam penegakan hukum. Instruksi Presiden tentang pemberantasan PETI sudah jelas dan tegas, namun di lapangan justru terkesan hanya menjadi lips service yang tidak dipatuhi dengan sungguh-sungguh.
“Dari perspektif hukum tata negara, ini menandakan adanya crisis of compliance: norma hukum dan perintah konstitusional diabaikan oleh aparat negara sendiri,” ujar Mevrizal, alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Ia menambahkan, maraknya kembali PETI di Kabupaten Solok sekaligus menunjukkan lemahnya peran pemerintah daerah dalam pengawasan dan koordinasi, meski kewenangan perizinan tambang sudah ditarik ke pusat.
“Pasca-revisi UU Minerba, Pemda tetap berkewajiban menjaga ketertiban umum dan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014. Namun faktanya, Pemda justru terlihat lepas tangan dan membiarkan aktivitas ilegal berjalan tanpa pengawasan yang efektif,” jelasnya.
Secara normatif, kata Mevrizal, PETI jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Jika dikaitkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku PETI juga dapat dikenakan pasal perusakan lingkungan hidup dengan ancaman pidana korporasi.
Bahkan, bila aktivitas PETI dilakukan di kawasan hutan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga bisa diterapkan. “Artinya, dasar hukum untuk menindak PETI sebenarnya sudah sangat kuat,” tegasnya.
Sebagai contoh, dalam Putusan PN Solok Nomor 13/Pid.Sus/2025/PN Slk, seorang terdakwa dijatuhi hukuman delapan bulan penjara, denda Rp1 miliar, serta perampasan alat berat berupa excavator dan breaker untuk negara. “Ini bukti bahwa ketika aparat bergerak, hukum bisa ditegakkan tegas. Namun tanpa pengawasan berkelanjutan dan koordinasi Pemda, putusan seperti itu hanya jadi pengecualian. Akhirnya PETI kembali menjamur,” ujar Mevrizal.
Ia mengutip teori legal system Lawrence Friedman, bahwa penegakan hukum dipengaruhi tiga faktor: substance (aturan hukum), structure (aparat penegak hukum), dan legal culture (budaya hukum masyarakat). “Substansi aturan sudah kuat, tapi struktur aparat lemah, bahkan ada indikasi tutup mata atau terlibat, sementara budaya hukum masyarakat yang terdesak ekonomi tetap memilih PETI,” katanya.
Kondisi itu, lanjutnya, melahirkan sengkarut tanpa ujung. Ketiadaan tindakan nyata aparat dan lemahnya koordinasi lintas sektor (Polri, TNI, Pemda) menimbulkan kesan negara tidak hadir.
“Padahal, TNI sebagai penjaga kedaulatan teritorial punya tanggung jawab moral mencegah eksploitasi ilegal, sementara kepolisian dan kejaksaan wajib menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Pemda pun tidak boleh bersembunyi di balik alasan keterbatasan,” tegas Mevrizal.
Ia mengingatkan, instruksi Presiden yang tidak dijalankan di daerah akan menurunkan legitimasi negara. Dalam perspektif teori hukum responsif ala Philippe Nonet dan Philip Selznick, kondisi ini masuk kategori repressive law—kuat di atas kertas, lemah di lapangan.
Mevrizal menyebutkan tiga solusi hukum agar instruksi Presiden tidak berhenti sebagai slogan penegakan hukum yang konsisten dan transparan, pertanggungjawaban pidana tidak hanya bagi pelaku lapangan, tetapi juga aktor intelektual dan korporasi di balik PETI dan penyediaan alternatif ekonomi legal bagi masyarakat.
Sebagaimana diketahui, aktivitas PETI di Kabupaten Solok sudah berlangsung lama dan bahkan menelan korban jiwa. Tragedi longsor di lokasi tambang ilegal Nagari Sungai Abu tahun 2024, misalnya, menewaskan 13 orang dan melukai belasan lainnya. Namun, peristiwa tragis itu cepat terlupakan. PETI kembali marak, sementara aparat masih cenderung menyasar operator lapangan, sedangkan aktor utama tetap luput dari jeratan hukum. (oky/indsatu)
Sumber : Top Satu Sumbar.
0 Komentar