![]() |
| Oleh: Sutan Sulaiman. |
INDSATU - Belakangan ini, publik Kabupaten Solok kembali disuguhkan tontonan yang ironis.
Sebuah pemberitaan muncul dengan nada keras, menggiring opini bahwa Bupati Solok, Jon Firman Pandu, SH, tidak peka terhadap kondisi sosial di daerahnya hanya karena menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Lintas Sektor (Linsek) RTRW 2025–2045) di Jakarta.
Judulnya bombastis, isinya tendensius.
Sayangnya, substansi yang mestinya mengedukasi justru berubah menjadi peluru opini tanpa arah.
Dan di sinilah letak persoalannya ketika kritik kehilangan nurani dan lupa pada objektivitas.
Kritik yang Tak Lagi Berpijak pada Fakta
Dalam dunia pers, kritik adalah napas demokrasi. Tapi ketika kritik berubah menjadi serangan personal tanpa data, ia tak lagi berfungsi sebagai pengontrol, melainkan penghancur kepercayaan publik.
Kehadiran Jon Firman Pandu di Jakarta bukan untuk melancong, apalagi berpesta di hotel mewah. Ia hadir atas undangan resmi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, bersama para kepala daerah lain dari seluruh Indonesia, membahas arah tata ruang nasional dua dekade ke depan.
Apa yang dibahas di sana bukan urusan pribadi, tapi rancangan masa depan pembangunan Kabupaten Solok.
Menyerang seorang kepala daerah karena menghadiri forum strategis nasional sama saja dengan menolak masa depan daerahnya sendiri.
Rakor, Bukan Jalan-Jalan
Sebagian komentar di media sosial menuding Jon Firman Pandu “terlalu sering ke luar daerah” dan “bangga dengan foto-foto di luar kota”. Bahkan muncul tagar sarkastik: #MenjemputKuePembangunanKePusat.
Tudingan ini jelas lahir dari ketidaktahuan.
Faktanya, APBD Kabupaten Solok berada dalam tekanan fiskal yang berat.
Dalam kondisi seperti itu, menjemput bola ke kementerian bukan pilihan, tetapi kewajiban.
Tanpa lobi politik dan jaringan nasional yang kuat, tidak ada pembangunan yang bisa bergerak.
Menjemput peluang bukan dosa.
Yang berdosa adalah ketika pejabat duduk diam di kantor, menunggu bantuan datang tanpa usaha.
Dan sejauh catatan kami, Jon Firman Pandu bukan tipe itu.
Antara Kewajiban dan Pencitraan
Tentu tidak salah jika publik mengawasi langkah seorang bupati. Tapi menghakimi setiap aktivitasnya tanpa memahami konteks justru merusak makna pengawasan itu sendiri.
Apakah setiap kepala daerah yang menghadiri rapat nasional harus dicap jalan-jalan?
Apakah setiap foto kegiatan harus dicurigai sebagai pencitraan?
Publik berhak tahu, tapi media berkewajiban menyajikan kebenaran secara utuh, bukan potongan-potongan yang disesuaikan dengan selera klik dan sensasi.
Menegakkan Etika, Menyelamatkan Akal Sehat
Kita boleh berbeda pandangan politik. Kita boleh tidak suka pada seseorang.
Tapi jangan pernah memanipulasi fakta untuk menegakkan kebencian.
Karena dari situlah kebodohan publik mulai dibentuk pelan tapi pasti.
Tulisan yang diduga asal kritis, jauh dari objektif, bahkan tanpa konfirmasi, bukan hanya merusak nama baik seseorang, tetapi juga merendahkan martabat jurnalisme itu sendiri.
Sebagai bagian dari masyarakat pers, saya percaya: fungsi media bukan untuk menghukum, tapi untuk mencerahkan.
Dan jika ada yang perlu diluruskan, maka kebenaran harus tetap berdiri tegak, walau sendirian.
Penutup: Mengawal dengan Akal, Bukan Amarah
Bupati Solok hadir di Jakarta bukan untuk kepentingan pribadi.
Ia datang membawa nama daerah, amanah rakyat, dan tanggung jawab pembangunan.
Apapun warna politiknya, siapa pun yang memimpin, kita wajib mengawal dengan akal sehat bukan dengan narasi yang sudah kehilangan arah.
Sebab ketika media berhenti menegakkan objektivitas, maka yang runtuh bukan hanya reputasi seseorang, tapi juga kepercayaan publik terhadap kebenaran.(*)
Sumber : eXpose Sumbar

0 Komentar