Resensi Patung Abstrak Karya Doni Bule “Meluncur”

Oleh: Rizal Tanjung  ( Dok : ist )


INDSATU - Di hadapan kita berdiri sebuah tubuh kayu yang dipahat dengan kesabaran panjang, seolah mengandung gema sejarah seni patung dunia. Patung abstrak berjudul “Meluncur” karya Doni Bule ini bukan sekadar potongan kayu yang dipahat, melainkan perwujudan energi laten—suatu bahasa bentuk yang melampaui representasi figuratif. Ia meluncur tidak hanya dalam judul, tetapi juga dalam gerak imajiner yang memancar dari rongga-rongga kosongnya.


Permukaan kayu yang dipoles halus memberi kesan kehangatan alami, namun lubang-lubang yang terjalin di dalamnya menghadirkan ruang renung, seakan menyingkap makna kehidupan yang selalu berlapis. Bentuk lingkaran-lingkaran yang tercipta pada tubuh patung ini menyiratkan siklus, pergerakan, dan kesinambungan; sementara rongga besar di bagian atas memberi kesan mata kosmik, seakan kayu ini sedang memandang balik ke arah semesta.


Jejak Aliran Seni Patung Dunia


Untuk memahami “Meluncur”, kita perlu menengok kembali jejak panjang seni patung dunia. Dari klasik Yunani yang mengagungkan tubuh manusia sebagai puncak harmoni, ke patung Gotik dan Renaisans Eropa yang berupaya menghadirkan spiritualitas dan realisme, lalu menuju modernisme awal abad ke-20 di mana Auguste Rodin mengguncang persepsi dengan ekspresi tubuh penuh dinamika.


Namun, abstraksi hadir sebagai kritik sekaligus pembebasan. Henry Moore di Inggris memperkenalkan bentuk rongga dalam tubuh patung yang bukan sekadar kosong, tetapi ruang penuh makna—suatu gagasan yang seolah beresonansi dalam karya Doni Bule ini. Sementara Constantin Brâncuși, sang perintis abstraksi modern, mengurangi bentuk ke esensi paling murni, menjadikan patung sebagai lambang keabadian gerak dan kehidupan.


Di Asia, aliran patung abstrak pun menemukan akar yang berkelindan dengan filosofi Timur: kekosongan bukanlah nihil, melainkan ruang kehidupan. Prinsip Zen, Tao, dan Minangkabau yang mengenal alam takambang jadi guru seakan hadir dalam pilihan bentuk Doni Bule, di mana kayu—bahan alami—dibiarkan berbicara dalam kepolosannya.


Resensi Puitis atas “Meluncur”


“Meluncur” adalah sepotong gerak yang ditangkap dan dipaku keabadiannya. Kayu ini seolah sedang menyelam dari ketinggian, menembus udara yang tak kasatmata, meninggalkan jejak lintasan takdir. Setiap lubang di tubuhnya adalah pintu, semacam celah tempat jiwa manusia bisa menyingkapkan arti perjalanannya.


Jika kita mendekat, seakan terdengar bisikan kayu yang berucap: Aku bukan tubuh mati, aku adalah arus. Aku meluncur di antara waktu, menembus batas figuratif, menuju esensi terdalam. Di sinilah abstraksi tidak sekadar permainan bentuk, tetapi bahasa spiritual, ruang kontemplatif.


Dalam Konteks Nasional dan Internasional


Pada ranah nasional, karya Doni Bule menandai geliat seni patung Indonesia yang semakin berani merambah abstraksi. Jika generasi sebelumnya seperti Nyoman Nuarta lebih dikenal dengan monumental figuratifnya, kini seniman muda seperti Doni menghadirkan bahasa bentuk yang lebih subtil, eksperimental, dan reflektif. Kehadiran pematung pemula seperti John Hardi, Jon Wahid, dan Anita Dikarina dalam pameran bersama ini memperlihatkan iklim kreatif yang sehat—sebuah dialog lintas generasi dan lintas gaya.


Di ranah internasional, “Meluncur” sejajar dengan tradisi patung abstrak global yang terus berevolusi. Karya ini bisa diletakkan dalam percakapan dengan Henry Moore atau Barbara Hepworth di Eropa, atau bahkan dengan tradisi kontemporer Jepang yang kerap memadukan minimalisme dengan spiritualitas bahan alami. “Meluncur” menunjukkan bahwa Indonesia tidak sekadar mengikuti arus, melainkan menambahkan aksen unik: kayu tropis yang hangat, filosofi Nusantara yang kaya, serta sentuhan rasa lokal yang subtil namun dalam.



“Meluncur” bukan sekadar sebuah judul, melainkan kondisi eksistensial: gerak manusia, gerak semesta, gerak kayu yang kini membeku dalam bentuk. Ia adalah saksi bahwa seni patung abstrak Indonesia mampu hadir di medan global, bukan dengan meniru, tetapi dengan mengolah kembali tradisi dan bahan menjadi bahasa universal. Doni Bule, melalui karya ini, telah membuka ruang kontemplasi—sebuah celah bagi kita untuk ikut meluncur dalam keheningan, menyelami makna di balik ruang kosong, dan menemukan diri dalam perjalanan yang tak pernah selesai.



“Meluncur” karya Doni Bule ini dengan analisis simbolik yang lebih intim, seakan setiap lekukan dan rongga adalah metafora perjalanan manusia dalam semesta.



Analisis Simbolik Patung “Meluncur”


Rongga Besar di Bagian Atas


Rongga ini seperti mata kosmik atau jendela langit. Ia bisa dibaca sebagai lambang visi dan pandangan jauh manusia. Dalam filsafat Timur, mata bukan sekadar penglihatan, melainkan jalan menuju batin. Lubang besar itu seolah berkata: di sanalah jalan keluar, di sanalah arah tujuan. Ia adalah cakrawala terbuka, pintu menuju kebebasan, tempat roh manusia berjumpa dengan ruang tak terbatas.



Lubang-Lubang Kecil yang Bertingkat


Di sepanjang tubuh patung, tampak lubang-lubang yang berbeda ukuran, tersusun seperti ritme kehidupan. Lubang terkecil di atas adalah awal mula—lahirnya manusia ke dunia. Lubang yang lebih besar di bawahnya adalah pengalaman yang bertambah seiring waktu: luka, tawa, dan pertemuan. Hingga lubang terbesar di bagian tengah bawah menyimbolkan kedewasaan dan kesadaran penuh, ruang di mana manusia harus berani menerima keutuhan hidup, dengan segala terang dan gelapnya.


Secara filosofis, ini sejalan dengan gagasan eksistensialisme: manusia adalah makhluk yang terus digerus oleh pengalaman, dan lubang-lubang itu adalah catatan luka serta pelajaran yang membentuk jati diri.



Permukaan Kayu yang Halus dan Organik


Pilihan Doni Bule untuk tetap mempertahankan keaslian kayu, tanpa menutupi urat-urat alaminya, merupakan pernyataan bahwa manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari akar alam. Kayu adalah tubuh bumi, dan manusia adalah serpihan dari tubuh itu. Kehalusan permukaan adalah cermin kerentanan, sekaligus kelembutan hati manusia.


Dalam perspektif seni patung dunia, ini mengingatkan pada praktik Barbara Hepworth dan Isamu Noguchi yang memuliakan tekstur alami sebagai bagian dari bahasa karya.



Garis Meluncur yang Mengiris Tubuh Kayu


Ada lekukan yang seakan membelah patung dari rongga besar ke arah bawah. Garis ini bisa dibaca sebagai lintasan hidup, jalur eksistensi manusia yang tak pernah lurus, melainkan penuh belokan, penurunan, dan peluncuran ke arah takdir. Kata “meluncur” dalam judulnya memberi tekanan pada gerak: hidup bukanlah stagnasi, melainkan perjalanan yang senantiasa bergerak cepat, kadang tanpa sempat berhenti.



Pijakan Hitam sebagai Dasar


Patung ini berdiri di atas landasan hitam. Simbol ini dapat dibaca sebagai kegelapan asal—kosong, diam, misteri. Dari dasar gelap itulah patung (dan hidup manusia) bertumbuh ke arah cahaya. Ia mengingatkan kita pada filsafat Yin-Yang: gelap adalah bagian dari terang, dan dari kekosongan lahirlah keberadaan.



Makna Keseluruhan: Manusia yang Meluncur dalam Semesta


Jika ditafsirkan sebagai narasi, maka “Meluncur” adalah kisah manusia yang keluar dari rahim (rongga kecil), lalu tumbuh melalui lapisan pengalaman (lubang-lubang bertingkat), hingga akhirnya menemukan pandangan kosmik (rongga besar di atas). Semua itu bergerak, meluncur, menuju ruang tak terbatas yang tak bisa dipahami hanya dengan mata jasmani.


Patung ini menyuarakan bahwa kehidupan adalah perjalanan tanpa titik henti. Lubang-lubang bukanlah kekurangan, melainkan ruang bagi cahaya untuk masuk. Dengan kata lain: hidup yang sempurna bukanlah hidup tanpa luka, melainkan hidup yang membiarkan cahaya menembus dari dalam luka itu sendiri.



Apabila diletakkan dalam konteks internasional, “Meluncur” dapat dibaca sebagai kontribusi khas Indonesia dalam wacana global seni abstrak: menggabungkan bentuk modern yang universal dengan filosofi lokal yang intim pada alam dan kehidupan.



“Meluncur” dengan konsep filsafat Timur (Zen, Tao, Minang) dan Barat (Heidegger, Sartre, Camus) dalam

karya Doni Bule ini dengan perbandingan filosofis Timur dan Barat, sehingga karya ini dapat dibaca bukan hanya sebagai patung abstrak, tetapi sebagai teks filosofis yang berbicara lintas tradisi.



Perbandingan Filosofis dalam Patung “Meluncur”



Perspektif Filsafat Timur


Zen (Jepang)

Dalam tradisi Zen, kekosongan (emptiness) bukan berarti nihil, melainkan ruang yang penuh potensi. Rongga besar dan lubang-lubang dalam “Meluncur” merepresentasikan prinsip Zen: keindahan justru lahir dari kekosongan. Dengan demikian, patung ini tidak menghadirkan figur manusia secara utuh, melainkan ruang di mana imajinasi dan batin penonton bisa masuk.


Taoisme (Tiongkok)

Taoisme menekankan pada aliran (flow) dan keseimbangan. Judul “Meluncur” beresonansi dengan prinsip Tao: hidup adalah mengikuti arus, tidak melawan, tetapi meluncur bersama gerak alam. Bentuk patung yang seperti jatuh namun juga naik, memberi kesan gerak simultan yang tak pernah usai—persis seperti gagasan Wu Wei (bertindak tanpa paksaan).


Filosofi Minangkabau (Indonesia)

Prinsip alam takambang jadi guru (alam terbentang jadi guru) terasa kuat dalam penggunaan kayu alami. Kayu yang tidak disamarkan dari serat dan warnanya adalah simbol bahwa seni lahir dari mendengarkan alam. Lubang-lubang itu seolah jejak waktu, sebagaimana batang pohon menyimpan umur dalam lingkaran usianya. Doni Bule menegaskan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya.



Perspektif Filsafat Barat


Heidegger (Jerman)

Heidegger menekankan konsep Being-in-the-World (Ada-di-dalam-Dunia). Patung “Meluncur” menampilkan kayu yang berongga, namun justru rongga itu mengungkapkan “ada”-nya. Seperti Heidegger berkata, arsitektur bukan hanya dinding yang dibangun, melainkan ruang kosong di dalamnya yang memberi makna. Demikian pula patung ini: keberadaannya bukan di permukaan, tetapi pada kekosongan yang diukir.


Jean-Paul Sartre (Prancis)

Sartre menekankan kebebasan manusia yang selalu dilempar ke dalam dunia (thrownness). “Meluncur” adalah metafora dari dilemparkan itu: manusia meluncur ke dalam hidup tanpa pernah memilih kelahirannya, lalu menghadapi lubang-lubang pengalaman yang membentuknya. Lubang-lubang dalam patung ini adalah existential holes, ruang-ruang kosong yang harus diisi dengan pilihan.


Albert Camus (Prancis)

Camus berbicara tentang absurditas hidup: manusia mencari makna dalam dunia yang bungkam. “Meluncur” bisa dibaca sebagai absurditas itu—gerak yang tiada ujung, meluncur entah ke mana. Namun justru di situlah nilai estetisnya: seperti Sisyphus yang terus mendorong batu, manusia harus menerima absurditas dan tetap merayakan perjalanan.



Dialog Timur dan Barat dalam “Meluncur”


Jika filsafat Timur melihat lubang sebagai ruang kehidupan, filsafat Barat melihatnya sebagai tanda absurditas dan eksistensi yang dilemparkan. Namun keduanya bertemu dalam karya ini: lubang-lubang bukan hanya ruang hampa, tetapi tanda bahwa manusia tidak lengkap, dan justru ketidaklengkapan itu memberi makna.


Dengan demikian, patung Doni Bule berdiri di titik temu:


Dari Timur, ia membawa semangat menyatu dengan alam, menerima arus, menemukan makna dalam kekosongan.


Dari Barat, ia berbicara tentang kebebasan, absurditas, dan keberanian untuk hidup meski tak ada jawaban pasti.



Kesimpulan Filosofis


“Meluncur” adalah meditasi eksistensial sekaligus kontemplasi spiritual. Ia tidak berhenti sebagai benda estetis, tetapi sebagai jembatan antara Zen dan Sartre, antara Tao dan Camus, antara Minangkabau dan Heidegger. Patung ini berkata:


“Hidup adalah meluncur dalam ruang kosong.

Namun justru di dalam lubang-lubang itu, cahaya menemukan jalannya.”(*)


Sumatera Barat,2025

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra